*Oleh:Turius w
Papua masih merupakan wilayah rawan konflik yang belum dapat didamaikan atau paling tidak belum ditemukan jalan terbaik penyelesaian masalahnya. Masalah Papua bukan sekedar masalah politik melulu tetapi sudah merupakan konflik multi dimensional yang merasuk segala aspek kehidupan social rakyat. Sebuah konflik multi dimensional yang harus diurai dan dicari jalan penyelesaiannya dengan adil.
Jika mulai bicara soal Papua pastilah terpampang disana masalah pelanggaran HAM yang kronis, kemiskinan structural yang melilit kehidupan hampir 40 persen penduduk (peringkat pertama di Indonesia), pengembangan sumber daya manusia yang stagnan, operasi dan represi militer yang tiada henti, praktek-praktek penyelenggaraan pemerintahan yang korup disertai malpraktek manajemen negara atas berbagai kebijakan yang dikeluarkan bagi Papua — episode pertarungan Ostsus Papua versus Propinsi IJB dapat menjadi contoh dalam hal ini –, pembalakkan liar, perusakan lingkungan yang parah hingga pencurian sumber-sumber daya ekonomi rakyat yang tiada henti adalah merupakan beberapa aspek konflik multi dimensional Papua yang dapat dilihat jika hendak mencermati masalah Papua secara tuntas.
Konflik Papua juga bukan melulu konflik politik domestik Indonesia. Tanah Papua, dengan sumber daya alam yang melimpah, sudah mengundang begitu banyak pihak yang memiliki kepentingan eksploitasi ekonomi sejak awal permasalahan politik Papua muncul dalam forum-forum internasional ketika menguatnya perebutan hegemoni atas Tanah Papua oleh Indonesia dan Belanda pada tahun 1960-an. Bolehlah dikatakan negara-negara kapitalis seperti Amerika Serikat, Belanda, Inggris dan Australia adalah pihak-pihak luar yang dalam lima decade terakhir memiliki pengaruh langsung dan tidak langsung atas berbagai soal yang muncul di Papua karena kepentingan eksplotasi sumber-sumber ekonomi mereka di Tanah Papua. Karena sumber daya alam yang melimpah itu maka dapatlah dikatakan Papua sejak awal telah menjadi masalah dalam peta politik global yang harus diamati secara lugas jika hendak melakukan sebuah perubahan yang kualitatif dan berarti dalam permasalahan Papua.
Konkalikong imperialis global dengan pemerintah Indonesia pada saat negosiasi-negosiasi politik internasional soal Tanah Papua dibicarakan tampak dengan jelas. Sandiwara politik mengenai Papua yang disutradarai agen-agen imperialis seperti AS jelas menjadi sebuah kebijakan politik resmi kekuatan imperialis (konspirasi modal asing) dalam mengintervensi masalah politik Papua yang menghendaki Papua masuk kedalam NKRI dengan syarat-syarat eksploitasi ekonomi yang akan menjadi hak ekslusive bagi imperialis dalam mengeruk sumber daya alam Papua. Latar belakang deal-politik mengenai status politik Papua yang demikian, jelas sekali menjadi latar sejarah yang dominan dalam masalah Papua.
Untuk mengelabui masyarakat global, berbagai kebijakan diplomatic internasional ditetapkan untuk dijalankan dalam penyelesaian masalah Papua. Sebagai contoh, tarik ulur antara Indonesia dan Belanda soal Papua, berdasarkan intervensi AS, berhasil diminimalisir menjadi bentrok terbuka dengan dipaksakannya pelaksanaan proposal Bunker — proposal ini dirancang oleh Elsworth Bunker, seorang diplomat senior AS di PBB — yang mengatur mengenai aksi politik penyelesaian masalah Tanah Papua.
Berdasarkan tekanan yang kuat dari AS, Belanda dan Indonesia akhirnya menyepakati usulan Bunker dan ditandatangani pada tanggal 31 Juli 1962. Proposal Bunker inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya resolusi PBB Nomor 1752 dalam Sidang Umum PBB mengenai Perjanjian New York yang ditetapkan pada tanggal 24 September 1962. Bagian terpenting dari New York Agreement adalah ketetapan mengenai aksi bebas memilih (Act of Free Choice) bagi rakyat Papua yang dalam beberapa hal dilakukan secara manipulatif saat itu di Papua.
Perjanjian New York itu tidak dipraktekkan secara benar di Papua oleh karena kepentingan ekonomi politik yang lebih dominan dari imperialis global dalam penyelesaian masalah Papua. Untuk tetap menjaga kepentingan eksploitasi ekonominya, atas inisiatif AS, dilakukan sebuah pertemuan rahasia di Roma yang dihadiri wakil-wakil Indonesia dan Belanda dan berhasil dibuat Perjanjian Rahasia Roma (the Secret Rome Agreement) pada tanggal 30 September 1962, tepat seminggu setelah ditetapkannya Perjanjian New York.
Isi perjanjian rahasia roma adalah; Pertama, pelaksanaan penentuan nasib sendiri agar ditunda atau dibatalkan; Kedua, Indonesia memerintah Papua selama 25 Tahun terhitung mulai tanggal 1 Mei 1963; Ketiga, metode Act of Free Choice digunakan dengan metode Indonesia, yakni musyawarah; Keempat, AS berkewajiban melakukan penanaman modal melalui badan usaha di Indonesia bagi eksplorasi mineral dan sumber daya alam lainnya; Kelima, AS menjamin Bank Pembangunan Asia sebagai dana pembangunan PBB di Papua sebesar 30 Juta dollar AS untuk jangka waktu 25 tahun; Keenam, AS menjamin Indonesia melalui Bank Dunia dengan sejumlah dana bagi pelaksanaan Transmigrasi dalam rangka penempatan orang-orang Indonesia di Papua, terhitung sejak tahun 1977.
Pasal empat perjanjian rahasia Roma, seperti tertulis diatas, menjadi giroh atau inti dari semua soal yang melatar belakangi kepentingan ekonomi politik AS mengenai Papua. Semangat ekspansionis modal imperialis yang demikian kuat menjadi dasar sengketa politik Papua yang kemudian menjadi semakin stabil dibawah pemerintahan orde baru Soeharto yang pro AS. Sebuah cerita panjang mengenai pencurian sumber daya alam Papua yang tanpa henti itu, rupa-rupanya berawal dari dan bermula dari sini.
Papua Sebagai Jaminan Liberalisasi Ekonomi Imperialis Di Indonesia
Bulan Nopember 1965, sebulan setelah kudeta berdarah terhadap Soekarno yang anti Barat, Freeport McMoran Gold & Copper mulai melakukan penjajakan investasi ekonomi dengan regime baru yang pro AS. Penjajakan investasi itu dilakukan Freeport untuk menambang singkapan deposit tambang tembaga terbesar didunia yang terdapat di Ertsberg, didaerah pegunungan tengah Papua. Kepastian mengenai adanya deposit tambang tembaga terbesar itu dibuktikan oleh Forbes Wilson, seorang geolog AS, melalui sampel geologis dari singkapan Ertsberg yang ditelitinya pada tahun 1960.
Soeharto, presiden RI kedua, berpaling pada ekonom-ekonom Indonesia yang dididik AS. Mafia Berkeley, demikian sebutan kelompok ekonom ini, pada masa orde baru akan menjadi kelompok sentral yang mengarahkan kemana arah kebijakan ekonomi Indonesia dijalankan, mereka menjadi kaki tangan IMF dan Bank Dunia dan berdasarkan nasihat-nasihat ekonomi yang mereka berikan kepada pemerintahan orde baru dimulailah sebuah fase liberalisasi ekonomi yang memudahkan investasi modal asing masuk ke Indonesia dan Papua — sebagai daerah yang masih bermasalah pada awal pemerintahan orde baru — menjadi pertaruhan ekonomi dan harga yang harus dibayar bagi imperialis oleh Indoneia sebagai bargaining position untuk tetap memiliki Tanah Papua.
Barangkali banyak kalangan yang tidak mengetahui bahwa pintu gerbang investasi modal Asing di Indonesia terbuka lebar oleh karena kehadiran Freeport McMoran Gold & Copper yang sejak awal 1960-an sudah berminat dan bernafsu untuk melakukan penambangan tembaga dan emas di Papua. Barangkali juga banyak yang hendak melupakan kenyataan bahwa Papua, yang sampai sekarang masih bermasalah itu, adalah harga yang harus dibayar oleh Indonesia untuk memperoleh dukungan AS dan imperialis global dan memantapkan pijakkan kekuasaannya atas wilayah ini.
Untuk membuka kemungkinan dilakukannya investasi ekonomi, Freeport melakukan negosiasi dengan pemerintah Indonesia yang melahirkan kontrak karya (kk) generasi pertama yang mengatur tentang ketentuan pokok penambangan oleh pihak asing di Indonesia. Kontrak karya yang dibuat Indonesia dan pihak Freeport itu ditetapkan pada bulan April 1967. Seperti kita ketahui, pada saat itu aksi bebas memilih (act of free choice) atau yang lebih dikenal dengan istilah ‘penentuan pendapat rakyat’ (pepera) belum dilakukan dan wilayah Papua secara de jure belum berada dalam kekuasaan NKRI.
Desakan liberalisasi ekonomi yang kuat dari modal asing mengharuskan Indonesia mengeluarkan paket-paket kebijakan ekonomi yang aman, murah dan mudah diakses oleh modal asing tanpa banyak urusan birokrasi yang memberatkan dalam rangka eksploitasi ekonomi mereka. Oleh karena itu kehadiran Freeport dan kontrak karya yang sudah dibuatnya dengan Indonesia dikemudian hari melahirkan dua paket ekonomi yang sangat vital bagi investasi modal asing dibidang pertambangan dan juga sebagai suatu tanda dimulainya liberalisasi ekonomi Indonesia. Kedua paket kebijakan ekonomi itu adalah dikeluarkannya UU No.1 Tahun 1967 Mengenai Penanaman Modal Asing (UU PMA) dan UU No.11 Tahun 1967 Mengenai Pertambangan (UU Pertambangan) . Kedua paket kebijakan ekonomi itu pulalah yang membuka peluang masuknya raksasa modal atau multi nationals corporation seperti Freeport McMoran Gold & Copper, Exxon-Mobil, Rio Tinto, Newmont, Dutch-Shell, Conoco Oil, Petro China dan beberapa lainnya.
Tidaklah mengherankan jika dikatakan bahwa Papua menjadi tolok ukur sebuah perubahan kebijakan ekonomi secara signifikan di Indonesia dan bisa dibenarkan pula bahwa Papua dikorbankan dan digadaikan kepada asing oleh Indonesia dalam rangka membeli dukungan politik internasional, terutama AS, untuk memasukkan Papua ke Indonesia. Sebuah sikap politik yang hingga saat ini menimbulkan konflik tiada henti antara rakyat Papua yang sadar akan tergadainya hak-hak politik mereka dengan pemerintah Indonesia yang tamak, serakah dan yang diperbudak modal asing.
Otonomi Khusus Papua Merupakan Paket Ekonomi Politik Neo-Liberal
Krisis ekonomi yang melanda dunia sejak tahun 1995 dan semakin menguat pada tahun 1997 juga menerpa Indonesia. Beberapa analisis strukturalis mengemukakan pendapat mereka bahwa krisis ekonomi yang terjadi saat itu adalah merupakan wujud dari dinamika internal kapitalisme yang hendak merubah metode eksploitasi ekonominya.
Pada tahun 1960-an dalam metode eksploitasi kapitalisme global dikenal istilah pembangunanisme atau developmentalism, pada decade 1970-an sampai dengan 1980-an akhir kapitalisme menerapkan metode eksploitasi ekonomi melalui sebuah pendekatan yang disebut liberalisme pasar.
Rupa-rupanya liberalisme pasar tidak lagi menghasilkan fulus yang aman bagi induk kapitalis karena berbagai praktek birokrasi yang korup dinegara-negara dunia ketiga, kondisi yang demikian melahirkan ekonomi biaya tinggi dan tidak efisien bagi ekspansi modal maupun penarikan untung oleh kapitalisme global.
Dengan demikian dibuatlah krisis ekonomi yang dilancarkan sendiri oleh kaum imperialis di beberapa negara, termasuk di Indonesia saat itu, untuk merontokkan mesin-mesin kekuasaan yang korup dan yang sudah tidak lagi memberi keuntungan secara ekonomis dan politik bagi eksploitasi ekonomi negara-negara induk kapitalis.
Krisis ekonomi global menyebabkan gerakan reformasi muncul kepermukaan dan melahirkan sentimen perlawanan rakyat yang meluas atas berbagai ketidakadilan, praktek korupsi yang merajalela, sentralisasi kekuasaan politik dan ekonomi, pengebirian hak-hak demokrasi rakyat dan berbagai pelanggaran hak asazi manusia yang sangat identik dengan kekuasaan fasis-militeristik orde baru.
Dalam konteks Papua, dua sisi musti dilihat. Pertama, munculnya gerak reformasi itu memberikan ruang demokrasi yang lapang bagi rakyat Papua untuk menyuarakan hak-hak politiknya yang lebih dari empat decade ditiadakan dengan paksa dibawah tekanan militeristik pemerintahan yang berkuasa yang telah melahirkan begitu banyak pelanggaran HAM yang mengerikan. Kedua, ketidakadilan ekonomi yang terjadi selama ini rupanya tidak termaafkan lagi oleh rakyat Papua, betapa tidak, puluhan trilyun rupiah disumbang Papua secara rutin tiap tahun kedalam kocek pemerintahan pusat dari berbagai eksploitasi sumber daya alam yang terjadi, sementara Papua hanya mendapat bagian dengan jumlah tidak lebih dari satu persen, sebuah paradoks yang menyakitkan.
Dua hal diatas menyebabkan tuntutan rakyat Papua untuk merdeka menguat. Tidak ada pilihan lain, pemerintah Indonesia rupanya harus mengambil jalan baru untuk tetap menjaga Papua berada dalam kekuasaan NKRI agar proses eksploitasi ekonomi yang telah berlangsung selama ini tetap berjalan dengan eksis.
Mirip politik etis jaman Hindia Belanda, pemerintah Indonesia juga mengeluarkan paket politik, yang dapat disebut politik etis, yaitu Otonomi Khusus bagi rakyat Papua. Disatu sisi, Otsus dipandang pemerintah Indonesia dapat selesaikan masalah Papua secara tuntas, tetapi disisi yang lain, Otsus Papua yang merupakan paket politik neo-liberal titipan IMF dan Bank Dunia, bagi para pemilik modal asing, memberikan dampak positif dan jaminan bagi kelangsungan eksploitasi mereka serta bahkan semakin memudahkan cengkeraman modal dan eksploitasinya di Papua.
Dalam konteks ini, desentralisasi politik yang diberikan kepada Papua dalam paket Otsus adalah merupakan taktik imperialisme global yang disodori kepada pemerintah Indonesia untuk dijalankan di Papua. Bukan cerita baru, sentralisasi ekonomi selama ini dijalankan oleh Jakarta dengan praktek korupsi yang menggila, dianggap merugikan bagi investasi modal asing. Jalan aman memutus budaya korup Jakarta dan memuluskan hubungan modal asing secara langsung dengan Papua adalah melalui pemberian Otsus, karena dalam paket Otsus, pemodal asing bisa langsung berurusan dengan pemerintah Papua, tanpa harus melalui Jakarta, jika menginginkan investasi ekonomi diwilayah ini. Bukan tidak mungkin, jika Otsus dijalankan dengan tepat berdasarkan keinginan imperialis global, maka Papua akan menjadi primadona eksploitasi modal asing pada masa-masa yang akan datang.
Itulah mengapa dalam beberapa tahun terakhir, AS, Inggris, Australia dan beberapa negara Barat lainnya selalu mengemukakan dengan jelas bahwa mereka tetap mendukung Papua berada dalam NKRI, karena sudah terbaca dengan jelas keuntungan ekonomis yang akan mereka peroleh jika mereka mampu mendorong pemerintah Indonesia menjalankan agenda Otsus dengan benar di Papua.